Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Menakar Nasionalisme Dalam Film

Rizal Siregar Foto: Marthin Brahmanto



ARTIKEL
*Oleh Rizal Siregar
   Masih  adakah nasionalisme dalam film nasional? Sepertinya jauh panggang dari  api.  Tema beraroma rasa kebangsaan itu dianggap berbau pemerintah. Berbau idealis.  Bahkan  dianggap film tak laku atau proyek rugi. Benarakah demikian?  Tidak semua anggapan itu benar dan tidak semua pula  anggapa itu  salah. Tangantung sineas. Apakah  sang sineas  memproduksi film berdasarkan  pikirannya dan renungan atau hanya membuat film  sekedar meraih keuntungan semata.
   Kondisi politik yang bebas dan kian hangatnya akhir-akhir ini layak diapreasiasikan  oleh sineas dalam karya film. Tapi nasionalisme dalam film tidak sebatas memproduksi film  beraorma politik.  Atau berbau pemerintah dengan slogan-slogannya. Film Naga Bonar  yang skenarionya ditulis  Asrul Sani  dan disutradarai MT Risyaf adalah sebuah  film yang mengangkat nasionalisme  dimasa agresi militer Belanda di Sumatera Timur. Dengan  aroma film komedi situasi yang  diproduksi tahun 1987 itu  bisa menjadi karya  fenomenal.
    Film Laskar Pelangi (2008) dengan kekinian tanpa mengutamakan rasa nasionalisme, menjadi sebuah film fenomenal yang sarat dengan rasa cinta tanah air. Dengan warna yang kaya dengan sentuhan lokal menjadikan film garapan Riri Reza  menjadi  tontonan tidak saja menarik tapi dibanjiri oleh generasi muda. Bahkan tidak ada “pengerahan “ penonton seperti film  Sang Pencerah  (2010)  yang mengangkat riwayat   KH Ahmnad Dahlan garapan sutradara Hanung Bramantyo.
Poster Film Sang Pencerah
   Ada lagi film yang kental rasa nasionalismenya namun kurang mendapat  perhatian serius oleh penonton, yakni film  Merah Putih (2009). Film  Merah Putih yang terbilang mahal itu, masih jauh gaungnya dari film Naga Bonar-nya  karya Asrul Sani.  Sineas muda Monty Tiwa, setidaknya telah mencoba mendobrak “kemarahahnya”  dengan banjirnya film-film kacangan yang menjual sensualitas  murahan dengan memproduksi film Laskar Pemimpi (2010). Sebuah film yang memiliki siap tegas untuk generasi muda agar menghargai arti perjoangan para pahlawan. Monty Tiwa menggarap tidak diwarnai  dengan slogan-slogan.  Meski  kocaknya   mirip  sentuhan skenario yang ditulis Asrul Sani dalam film Naga Bonar, namun  tidak meniru apa lagi menjadi plagiat.
   Haruskah film nasionalisme itu bertema kemerdekaan?  Sikap itu adalah salah! Nasionalisme dalam film harus dijabarkan secara  luas.  Tema film  apa saja bisa menyetuh ranah  nasionalisme itu sendiri. Cinta tanah air, tidaklah harus dengan slogan-slogan berat atau dengan film epos dan sejenisnya. Film komedi dan percinataan pun bisa  menyentuh rasa nasionalisme. Film  First Blood (1982/Hollywood) atau film 3 Idiots   (2009/India) sangat menggugah  rasa kebangsaan  Amerika dan India. Tapi, kedua film itu tidak satu pun ada slogan atau pesanan pemerintahnya. Sineasnyalah  yang murni melahirkan sebuah karya film.
Adegan Film Laskar Pemimpi (foto:dok)
   Pejabaran luas dari nasionalisme dalam film  tidak semata  karya yang dilayar lebarkan, tapi yang paling utama rasa kecintaan akan tanah air, yakni dengan mengutamakan  tenaga  kru dan artis  dalam negeri.  Juga mempergunakan kemampuan dalam negeri saat proses film jika masih bisa dikerjakan  oleh anak bangsa sendiri. Bukan rahasia umum lagi kalau nyaris semua film nasional dalam proses memblow-up  dari digital ke seluloid dikerjakan di menaca negara.
Sama artinya, memperkaya industri  film asing dan  merendahkan kemampuan nasional. Benarkah kemampuan studio  nasional dalam  memblow-up film   terbilang rendah?
   Sebaliknya bagi sineas muda dewasa ini,  dominan menggunakan bahasa  okem Jakarta dalam film garapannya. Menggunakan bahasa daerah hanyalah digunakan  sebagai guyonan atau ngolok-ngolok   tok. Dialog “Anjirit”, “Ngehe”, atau bahasa yang  tak senonoh menjadi bahasa seharian dalam film nasional. Sesungguhnya berapa persen sih warga Jakarta  menggunakan bahasa okem  itu dari dua juta lebih rakyat Indonesia?
    Ditengah kebebasan bicara   tak banyak sineas  yang memampu mengangkat  dan menggali berbagai tema.  Tema yang  semstinya kaya,  karena diberikan ruang berekspresi seluas-luasnya,  malah menjadi miskin karena film yang disuguhkan hanya didominasi  “aroma” tertentu, yakni sensualitas.
Syuting Film Air Terjun Pengantin  (foto fb)
    Kembali kepersoalan nasionalisme, sudah  kentalkah rasa nasionalisme dalam tubuh perfilman nasional?  Baik sineas, penulis skenario, produser, artis maupun pengelola organisasi yang ada di tubuh perfilman nasional? Jawabnya,  kita harus menyimak  satu per satu film nasional yang ada dewasa ini.
   Yang pasti selagi penulis skenario, sutradara  dan produser masih dikendalikan oleh investor maka tidak akan lahir film yang punya rasa kebangsaan. Film Naga Bonar,  Ibunda, Laskar Pelangi dan  Laskar Pemimpi dibuat dari  pemikirian seorang sineas. Negeri ini kaya dengan tema cerita, mengapa menjadi miskin karena yang ditampilkan tema itu ke itu saja? Orang  film Indonesia jadilah sineas sejati (****)

*Wartawan dan pemerhati  film
(Dimuat di Tabloid KABAR FILM edisi 16 Maret 2011)




 

                 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

ayub mengatakan...

waw....good nih blog....udah jadi blogger kawakan nih bung rizal....hayo tukar link ama blogger lainnya....biar blognya muter.....mantab nih zal....bisa ajari aku ngak mbuatnya zal? hehehehe....jangan pelit sama ilmu zal....entar payah masuk surga.....

Posting Komentar